Cinta Hanya Masalah Persepsi

Kata pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi).”

Cinta adalah kata sederhana yang terangkai dari lima huruf C-I-N-T-A. Begitu sederhanakah? Ya. Sesederhana itu kata cinta terangkai. Namun jangan sekali-kali kau tanya makna dibalik kata ini. Cinta adalah satu kata yang memiliki berjuta definisi dan tafsiran, dalam sejarah, cinta adalah satu kata yang paling banyak didefinisikan oleh jutaan orang di dunia, mulai dari pelajar, pujangga, pengemis, presiden, ibu, bapak, kakek, nenek, hingga orang yang tak mampu membaca dan menulis pun punya definisi sendiri tentang cinta.
Begitu istemewakah? Nampaknya memang demikian kawan. Seistimewa matahari yang selalu setia menghangatkan bumi, yang tak pernah terlambat sedetikpun untuk datang membagi sinarnya bagi seluruh insan yang mencintainya. Seistimewa tanah yang selalu merelakan dirinya untuk tetap diam dan menjadi pijakan bagi seluruh makhluk di alam raya.
Cinta memang selalu sulit dijelaskan penalarannya, karena memang ia bergerak bagaikan mantra yang menyulap siapa saja yang ia sapa. “Ya, lagi-lagi aku bungkam seribu bahasa bila harus menuturkannya padamu, jutaan kata cinta yang sempurna terukir indah mampu sirna dalam sekejab hanya jika kutatap matamu”. Ya inilah cinta. Tak semua mampu diungkap kata. Namun seulas senyuman sudah lebih dari cukup untuk ungkap semua.
Tak akan pernah ada habisnya memang jika kita bicara cinta. Bak menguras samudra rasanya. Tapi memang benar bila cinta adalah bahasan paling menarik di sepasang zaman. Dalam setiap peradaban selalu saja ada kisah cinta luar biasa yang bercerita pada kita betapa dasyat memang kekuatannya. Taj Mahal misalnya, bangunan megah yang memiliki historis panjang nan mengagumkan yang dibangun diatas tanah dinasty Mughal. Dibangun dengan presisi, emosi dan seni arsitektur mengagumkan. Sebuah arsitektur atas nama cinta yang menjadi satu bangunan terindah di dunia ini seolah bercerita pada kita betapa dasyatnya cinta Shah Jehan pada istrinya Mumtaz Mahal. Di belahan bumi lain pun ada kisah yang tak kalah dalam maknanya, kisah cinta yang luar biasa, yang membutakan dan membinasakan, cinta itu menghancurkan jiwa dan raga seorang pemuda yang kuat dan gagah bernama Qais, itulah kisah cinta Laila Majnun. Cinta yang menghancurkan keduanya.
Bila kita tenggok sejarah dan sejenak merenungi kisah-kisah diatas. Akan nampak bagaimana kekuatan cinta mempunyai dua kutub yang berbeda. Dalam satu sisi ia menghidupkan, namun dalam sisi lain ia meluluhlantakkan. Sedasyat ia menguatkan, sedasyat itu pula ia mampu menghancurkan. Cinta memang bak mantra, hanya dengan sim salabim ia mampu satukan dunia, pun untuk menghancurkannya, hanya hitungan detik mampu terlaksana. Itulah cinta, rasa yang memberi kekuatan luar biasa. Lalu mengapa wujudnya bisa berbagai rupa? Persepsi kitalah penyebabnya, kemana kekuatan ini akan terarah, persepsi kita pula penuntunnya.
Pada akhirnya cinta memang tak lepas dari masalah persepsi. Bagaimana cinta ditafsirkan, dipupuk dan disiram, atau bahkan dikubur dalam-dalam semua hanya masalah persepsi. Bagaimana cinta dimaknai dan dijaga juga tergantung pada persepsi kita yang memilikinya. Cinta mampu memiliki jutaan tafsiran dan pemaknaan karena manusia yang merasakan cintapun memiliki jutaan persepsi yang berbeda, jutaan latar belakang budaya yang berbeda dan jutaan-jutaan hal lain yang mempengaruhi persepsi manusia.
Persepsi adalah proses mengindra objek sehingga meninggalkan kesan, atau lebih jauhnya persepsi adalah proses mengatur dan mengartikan informasi sensoris untuk memberikan makna. Persepsi ini kemudian amat mempengaruhi bagaimana reaksi atau tindakan seseorang terhadap dunia (Laura A. King, 2012). Persepsi ini diproses sesuai pengetahuan kita tentang dunia, sesuai budaya, pengharapan, bahkan disesuaikan dengan orang yang bersama kita saat itu. Solso (2008) dalam bukunya juga memaparkan bahwa persepsi dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah kita miliki sebelumnya, hipotesis yang kita susun dan prasangka-prasangka kita. Singkatnya, persepsi adalah cara kita memandang dunia.
Bagaimana kita jatuh cinta, tertarik dengan seseorang dan memutuskan untuk menjalin hubungan dengannya sangat dipengaruhi oleh persepsi. Anda yang hidup dalam keluarga yang sangat menjunjung tinggi nilai akhlak dan etika akan sangat kecil kemungkinannya untuk bisa jatuh cinta pada peacandu narkoba atau pencuri, misalnya. Mengapa demikian, karena dalam otak anda telah tersusun skema bahwa (maaf) pecandu narkoba atau pencuri adalah orang yang memiliki pribadi atau karakter yang “kurang” sesuai dengan nilai-nilai yang selama ini anda pegang, atau bahkan lebih ekstremnya persepsi anda mengatakan bahwa pecandu narkoba atau pencuri adalah orang jahat. Bagaimana persepsi itu terbentuk? Persepsi terbentuk dari pengalaman-pengalaman atau pengetahuan-pengetahuan yang  telah anda miliki sebelumnya, pengetahuan-pengetahuan itu bisa anda miliki melalui internalisasi nilai-nilai dalam keluarga anda, budaya tempat anda tinggal, pelajaran di bangku sekolah, televisi dan lain sebagainya.
Selanjutnya, bagaimana anda menyikapi kala cinta menyapa? Tentu berbeda dari masing-masing kita. Apa yang membuatnya berbeda? Lagi-lagi itu masalah persepsi. Anda yang lahir di Amerika atau saya yang lahir di Indonesia akan berbeda dalam mengekspresikan cinta. Saya muslim dengan anda yang non muslim juga pasti berbeda dalam mengintepretasikan cinta. Pun ketika putus cinta atau bila cinta tak berbalas, anda yang memiliki persepsi yang dangkal tentang hidup mungkin akan melakukan hal konyol seperti lompat dari gedung tertinggi di kota Anda atau minimal minum sirup baygon rasa jeruk. Tapi bila Anda memiliki persepsi yang baik tentang hidup, tentu Anda akan lebih bijak dalam bersikap dan bertindak. Ketika putus cinta mungkin Anda akan sama-sama lompat, tapi bedanya bukan lompat dari gedung tinggi tapi bisa jadi lompat tali bersama sahabat-sahabat anda atau lompat-lompat di trampolin untuk mengusir rasa kecewa.
Inti dari intinya adalah bahwa persepsi mengambil kemudi utama dalam perjalanan hidup kita, pun masalah cinta. Kepada siapa kita jatuh cinta, bagaimana kita mengintepretasikannya, bagaiamana kita menjaga dan mengarahkan cinta tak pernah lepas dari campur tangan persepsi. Bahkan sesungguhnya Allah telah tegaskan dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 26 yang artinya,  ”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Sahabat, jika cinta memang sangat dipengaruhi persepsi, mari kita bangun persepsi sebaik dan selurus mungkin. Agar cinta tak berarah pada kutub yang menghancurkan, namun berarah pada kutub yang menyempurnakan dan menyelamatkan. Dengan persepsi sebaik mungkin semoga kekuatan ajaib cinta mampu mengarahkan kita menjadi pribadi yang mampu mencapai hal-hal luar biasa, layaknya Shah Jehan yang mengukir sejarah cintanya lewat kemegahan Taj Mahal, bangunan bersejarah yang bahkan masuk dalam 7 keajaiban dunia.
Dan semoga cinta kita tak salah arah kawan. Semoga.

Malang, 13 Oktober 2013


Comments

Popular posts from this blog

APA SIH, LDK? KENAPA HARUS LDK?

Surat Keputusan Pengurus LDK At-Tarbiyah 2018

[DAILY TAUJIH] Ketika Cinta Berbuah Surga