Sebatas mana imanku?



Dear  Fira Firdausi Nuzula

Aku tuliskan sebuah surat untukmu sebagi tanda hati ini yang sedang resah, ungkapan yang mungkin hanya engkau sahabatku yang akan memahaminya
Minggu-minggu lalu,aku merasa mendapatkan spirit dan sugesti luar biasa dari dosenku. Dosen  ilmu tafsir yang juga merangkap sebagai dosen ilmu hadis. Dari beliau, aku mempelajari satu hal yang dapat mengubah paradigmaku tentang dakwah. Dakwah itu wajib, dan kita semua tahu itu. Dakwah itu sulit, ya,jelas aku juga tahu itu. Tapi berkat beliau aku menemukan diriku yang lain, diriku yang menginginkan dakwah. Aku  katakan pada sahabatku yang lain. Sepertinya,  dakwah is fun. Tiga kata yang secara tidak masuk akal bisa aku katakan, jadi mudah saja ku lontarkan. Saat itu aku benar- benar serasa menjadi manusia yang memiliki hati putih, ingin menjadi orang baik, ingin berdakwah.
Namun hidup bebicara lain. Hari ini aku benar- benar merasa malu. Malu luar biasa. Hari ini, adalah hari dimana aku bisa membuka mataku lebar-lebar  perihal sebatas mana imanku. Dengan kedua mata ini, mata yang sengaja Allah titipkan pada hambanya ini, sebagai alat indra untuk kita melihat suatu peristiwa, yang kemudian akan disalurkan ke otak dan otak akan meneruskan titah pada anggota gerak tubuh untuk melakukan suatu gerak motorik melaui saraf-saraf motoriknya. Ku tegaskan sekali lagi dengan kedua mata ini, aku melihat kemungkaran terjadi tepat di hadapanku. Kemungkaran yang terjadi  tidak lebih dari lima langkah dari posisiku yang mematung, mulus begitu saja, dan aku tidak melakukan apa- apa.
Hatiku bergemuruh hebat, menginginkan tubuh melakukan sebuah tindakan tegas mencegah kemungkaran itu. Lewat mata ini, hati ku menjerit. Menjerit karena aku tak berdaya. Berkali- kali aku katakan  dan kumaki diriku sendiri bahwa tindakanku- dengan tidak melakukan apa-apa- terlewat keterlaluan, aku adalah seorang mahasiswa jurusan dakwah, inilah saatnya untuk beraksi.
Dan Inilah yang membuat hatiku remuk hilang bentuk, lima menit sebelum kemungkaran itu terjadi, aku membaca buku tentang ancaman orang yang mengabaikan amar ma’ruf nahi munkar. Telah terekam jelas di otakku, ancaman orang yang mengabaikan mar m’ruf nahi munkar adalah dilaknat Allah, dan bukan termasuk orang yang beriman. Aku menyadari sepenuhnya betapa aku dan imanku berada dititik terendah, bahkan lebih buruk dari itu.
Tolol! Aku benar- benar tolol di tingkat tak terhingga.
Setelah menyaksikan  kemungkaran itu, aku dan hatiku berdialog kecil. Hatiku bertanya: “Sebenarnya apa yang ku takutkan?”.  Aku menjawab: “manusia itu.!”, hatiku bertanya lagi: “apakah aku takut pada Allah?”. Aku menjawab: “aku takut,”, dan secepat kilat hatiku bertanya lagi: “Tapi kenapa aku diam saja?”. Aku tidak menjawab. Hatiku bertanya: “Tidakkah ancaman Allah membuatku takut?”. Aku diam. Hatiku remuk, dadaku sesak, mataku perih. (surat dari Siti Aisyah al-Hasanudin)
Hatiku meloncat setelah membaca surat darinya, aku begitu tak mampu berkata apapun meskipun aku tahu itu salah seperti apa yang dia rasakan dan aku mulai berpikir dan bertanya pada diriku “sebatas mana imanku?”, dari situlah semangat untuk terus memperdalam ilmu agama, aku seakan-akan berlari mengejar impian untuk tetap dijalan Allah dan selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik dihadapan-NYA.
 Perlaha aku tatap dalam luar jendela Kereta Api Gajabaya yang nampak indah bila siapa saja yang melihatnya akan menyebut asma Allah yang telah memberikan keindahan yang luar biasa. Nampanya langit mulai menampakan merhannya, matahari mulai perlahan pergi dari tatapan bumi, bulan dan bintang mulai menghiasi indahnya bumi yang gelap gulita, sayup-sayup mata sudah tidak bersahabat denganku, perlahan aku pejamkan mata dan tanpa sadar malam telah berlarut, indahnya perjalanan dari Malang menuju Jakarta masih terbawa oleh ingatan seakan-akan masih ada dikelopak mata
“mohon perhatian, akan segera tiba distasiun Pasar Senini, untuk para penumpang dimohon untuk bersiap-siapa” suara pemberitahuan yang tanpa pikir panjang aku segera menurunkan koper dan segera membawa menuju arah pintu kereta, perlahan kereta tersebut berhenti dan semua penumpang bergegas menuju pintu kereta dan segera keluar dari kereta tersebut begitupun denganku. Tak lama kemudian mobil yang aku tumpangi melaju dengan cepat dan terlihat jelas kata “Selamat datang di Banten”, aku tersenyum kecil melihat kata itu yang membuat aku segera merapihkan pakaian yang lusuh yang beberapa menit aku abaikan, rasa lelah telah terobati dengan pertemuan yang selama ini aku tunggu dan aku nanti. Kubuka jendela kamar nampaklah taman yang indah, angin sayup-sayup menyapu peluhku, sudah namapak dalam kehidupan zaman sekarang, wanita berlari-lari dengan baju mini tampa sadar aku meneteskan air mata, napasku seakan sesak tertahan seakan seribu batu menimpaku dan menghentkan setiap aliran darah yang keras menghantamku membuat tubuhku lemas tak berdaya bagaikan terika rantai besi.
“Fir, lihat dirimu, kamu kuliah di malang bukannya tambah bagus dan enak dipandang tapi malahan kamu disini jadi tukang lawak” sembari ketawa kecil dengan mata yang tak sedap, ibu Ninda mengatakan kata-kata yang tak jelas bagiku
“maksud ibu apa?, Fira gak pahama”
“penampilanmu semakin berubah, kerudung atau mukena yang kau kenakan itu?” lagi-lagi memasang muka asam yang dia tunjukan kepadaku, aku tersenyum kecil kepadanya
“iya bu, sepertinya akan lebih mudah kalau Fira sholat ketika dalam perjalanan, lagian memakai kerudung dengan menutup dada itu perintah Allah, sudah jelas dalam Al-quran surat Al-ahzab ayat 59”
“so islami banget”
“tidak bu, bukan so islam tapi memang Fira orang islam, Fira terlalu banyak mengabaikan perintah Allah, maaf bu, Fira harus pergi Assalamu’alaikum”
Sejak saat itulah aku menjadi perbincangan terhangat yang mungkin menghibur semua orang yang membicarakanku, setiap aku lewat mereka tertawa dan berbicara pedas terhadap penampilanku tapi aku tidak pernah memperdulikan akan ucapan yang terlontar dari mulut mereka karena bagiku ini belum seberapa, teringat kembali suatu hadist yang menjadi penguat hatiku “Akan datang suatu zaman kepada manusia, orang yang memegang agamanya ditengah mereka ibarat orang yang memegang bara api (HR At Tirmidzi dan selainnya, disahihkan oleh syaikh al-Albany)” dan aku ingat kembali kata-kata yang terlontar dari seorang ikhwan saat pengukuhan anggota Lembaga Dakwah Kampus yang membuatku tak padam api semangat dakwah, kata-katanya sangat jelas terngiang dalam telingaku dengan pukulan tangan sembari menyebut asma Allah “Allahu akbar”
Aku membaringkan badan dengan sesaat kemudian segera mengambil buku yang belum selesai aku baca, surat kecil bercak warna ungu terjatuh dari buku yang aku pegang sekilat petir aku langsung membacanya dan segera mengaambil kertas kosong tanpa berpikir panjang lagi aku balas suratnya dan segera mengirimkannya lewat pos
Dear saudaraku Siti Aisyah yang selalu dicintai Allah
Hidup ini bukan tempat untuk bersenang-senang
Hidup ini bukan untuk menjadika kita lalai
Tapi hidup ini untuk menjadikan jalan menuju sang perindu
Akheran bukan tempat kita membuat amal tapi untuk memetik amalan kita selama didunia
Tetaplah engkau dalan dekapan panjang sang perindu, terus melangkah
Jadilah seorang wanita yang tegas berdiri walaupun arus obak menghantamu
Mengatakan sesuatu yang benar meski benci, meski dicaci dan maki sungguh tujuan kita adalah Allah
Biarkan kita dibenci bunga-bunga cantik itu
Biarkan kita diasingkan karena tujuan kita adalah Allah
Hanya Allah dan untuk Allah
Aku memahami apa yang engkau rasakan, aku juga merasakannya
Perlahan sadaraku, biar Allah yang memperbaiki ini semua, kita hanya berusaha menghilangkan dan melawan kemungkaran, terus kobarkan semangat dakwah lakukan dengan orang terdekat terlebih dahulu, Allah bersama kita.
“Fir, ko masih disini, itu anak-anak sudah menunggumu” ibuku mengingatkanku saat aku lengah dengan kewajibanku
Sudah dua minggu ini aku mengisi kajian untuk anak-anak, perlahan aku memahamkan mereka dari segi tauhid, karena dikampung halamanku masih banyak orang yang meminta pada kuburan dan meyakini orang-orang alim yang sudah meninggal dapat diminta pertolongan pada siapa saja yang memintanya yang kemudian dari segi pakaian dan mengajarkan bacaan al-quran secara perlahan, semangat mereka begitu berkobar saat aku bercerita perjuangan para sahabat dalam menyebarkan islam, nampak jelas senyuman semangat dakwah yang terlihat diraut wajah yang bening dan aku tersenyum saat melihat mereka mulai mengenakan kerudung, disamping senang tapi ada sedih yang aku balut dengan senyuman, sebagian dari orang tua mereka tidak berkenan anak-anaknya berkerudung
“apa yang kamu lakukan pada anak saya?, panas saya melihat anak saya membalut tubuhnyanya itu seperti kamu” dengan mata seakaan-akan hendak keluar yang membuat aku menjerit dalam seakan ingin mencabik tubuhku sendiri, aku berusaha menenangkan kemarahannya dengan nada lembut berusaha tak ada satu katapun yang menyakiti hatinya
Besok harinya, hatiku bagaikan `disambar petir seakan sudah hanya debu yang ada dalam tubuhku, napasku seakan sesak tak mampu bernafas jantungku berhenti berdetak saat langkah terakhirku meninggalkan kampung halaman dengan aku menyaksikan anak-anak yang selama ini aku ajak untuk menginjakan taman yang indah kini melepas kerudung, kepergianku hanya menyisahkan air mata, berharap Allah memberikan hidayah.
Setahun kemudian, saat liburan semester ini aku tidak pulang, aku harus terus menggali ilmu agama, rasanya rindu sekali aku pada mereka. Lamunanku buyar saat terdengar nada dering handpone disampingku, aku mengbaikannya karena nomornya tak aku kenal, tak lama dari kemudian sms masuk, aku tersenyum lebar saat mendapatkan kabar kalau sebagian dari mereka yang dikampung halamanku mulai memakai kerudung dan mereka berkata “sungguh nikmatnya menutup aurat” dan aku menyadari dakwah tidak bisa dilakukan sendiri dan aku memutuskan untuk terus gabung bersama LDK (Lembaga Dakwah Kampus)

By Rika Risnawati
(Juara 3 Lomba Menulis Kemuslimahan FSLDK Nasional  XVII di Pontianak)

Comments

  1. Nice article.... :-)
    Ditunggu tulisan-tulisan berikutnya ^_^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

APA SIH, LDK? KENAPA HARUS LDK?

Surat Keputusan Pengurus LDK At-Tarbiyah 2018

[DAILY TAUJIH] Ketika Cinta Berbuah Surga