Cinta Abadi



Terukirlah dalam pepatah Persia (Mirza Maulana, 2006) sebuah rangkaian kata-kata mutiara, “Cinta adalah penyakit yang tak seorang pun ingin bebas darinya. Mereka yang tertular tidak ingin sembuh, dan mereka yang menderita tidak ingin diobati.”
Cinta adalah satu-satunya tema laksana sumber mata air yang tidak pernah kering. Ia selalu memberi warna tersendiri dalam lingkup kehidupan manusia di jagat raya ini. Ratusan, ribuan bahkan jutaan kisah, cerita, dongeng atau buku-buku bertumpu pada kreasi cinta. Percintaan selalu dibumbuhi konflik dan intrik-intrik.
Al-kisah, Hakim Nizhami pernah menulis sebuah kisah percintaan yang romantis dan sekaligus dramatis tentang petualangan sepasang kekasih yang mempertahankan cintanya yaitu Layla dan Qais. Kedua sejoli dulunya terkenal sebagai sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Begitu kuatnya cinta pada keduanya hingga orang-orang sekitarnya menjuluki Qais sebagai si ‘Majnun’ (orang yang tergila-gila akan cinta).
Namun sayang, kisah keduanya harus berakhir dengan ironi. Layla dinikahkan secara paksa oleh ayahnya dengan seorang bangsawan. Tapi kesungguhan cinta yang telah menancap kuat di benak Layla tidak mampu dicerabut oleh siapa pun. Sebagai buktinya ia tak sudi digauli oleh orang yang telah mempersuntingnya.
Dan hal yang sama juga terjadi pada Majnun. Manakala keluarganya mengadakan sebuah pesta besar dengan mengundang para gadis cantik jelita demi menyembuhkan “kegilaan” Majnun, ia tetap bergeming laksana sebuah batu karang yang berdiri kuat meski diterpa oleh ombak bertubi-tubi.
Pengorbanan Layla-Majnun memang luar bisa. Perut lapar, bibir kering tidak bisa menghentikan energi cinta yang telah terbias dalam dada-dada mereka. Baginya, cinta sejati sudah harga mati. Siapapun yang beruaha memisahkannya, harus gigit jari.
Banyak orang yang sangsi mengenai kisah Layla-Majnun, apakah ini kisah nyata atau sekedar simbol belaka guna menggambarkan arti dan hakikat cinta.
Seperti kisah legenda Layla-Majnun, sudahkah kita naikkan maqam cinta kita kepada Allah di bulan Ramadhan yang tak lama lagi akan datang menjelang?... Bulan Ramadhan adalah media yang efektif membuktikan rasa cinta kita pada-Nya. Pancaran energi cinta di bulan Ramadhan tak akan mampu dikalahkan oleh gemerlap intan dan berlian sekali pun.
Sudah siapkah kita menyambut bulan Ramadhan dengan luapan kebahagiaan dan keimanan sebagaimana yg dijanjikan oleh Nabi lewat sabdanya, “Barangsiapa berpuasa karena iman dan mengharap pahala (ridho) Allah Swt, maka diampuni segala dosa-dosanya yang telah lewat.”
Bibir kering dan perut lapar bukanlah penghalang untuk menampik cinta Ilahi. “Terus-teruslah engkau mengetuk pintu Allah.” Perintah Nabi kala itu kepada Siti Aisyah ra.. “Dengan apakah gerangan aku mengetuk pintu Allah?.” Tanya Aisyah. “Dengan melaparkan perut (puasa). Jawab Nabi Saw.
Biarkan kekeringan melanda bibir kita, hiraukan rasa lapar menggeranyangi sekujur tubuh kita, asalkan dengan itu semua kita dapat melantunkan gaung tasbih, tahmid, dan takbir. Rajutan butir-butir dzikir kita ikat lewat Ramadhan.
Di saat banyak orang di sekitar kita yang menyodorkan ragam kebahagiaan duniawai, kita ungkapakan rasa cinta sejati kepada Allah dengan simfoni syahdu Qur'ani. Gema kalam ilahi dibawa ke mana-mana, terbang oleh hembusan angin, mengalun bersama deru ombak, menembus dinding-dinding perkantoran, swalayan, taman perkontaan, dan rumah makan, surau-surau dll.
Akhirnya, ungkapan Rabia`ah `Adawiyah (Laily Mansur, 2002) berikut ini menarik untuk kita simak, “Aku tinggalkan cintanya Laila dan Su`da mengasing diri. Dan kembali bersama rumahku yang pertama, dengan berbagai kerinduan mengimbauku, tempat-tempat kerinduan Cinta Abadi.”
Kawanku, Bulan Ramadhan ini adalah ajang membuktikan cinta abadi itu, insya Allah!
Wallahu a'lam

By. Ali Akbar



Comments

Popular posts from this blog

APA SIH, LDK? KENAPA HARUS LDK?

Surat Keputusan Pengurus LDK At-Tarbiyah 2018

[DAILY TAUJIH] Ketika Cinta Berbuah Surga