Ternyata Pemulung Itu…
Pada
25 Desember lalu, bersama seorang teman, saya berjalan-jalan di alun-alun kota
Malang. Yah hitung-hitung refreshing lah..tapi bukan sekedar refreshing biasa,
ada misi tertentu yang saya bawa : berburu pemulung! Loh, kok pemulung diburu??
soalnya saat itu saya dapat tugas akhir semester untuk mengamati kehidupan
pemulung. hehe.. ^^
Mendengar
kata pemulung, tentunya kita prihatin melihat kondisi keseharian mereka.
Kehidupan pemulung yg cenderung kumuh, bekerja di tempat kotor, tinggal di
tempat yang sangat tidak layak huni, seperti di : kolong jembatan, pinggiran
kali, emperan ruko, lokasi tempat pembuangan sampah, bahkan ada yang tidur di
atas gerobak sampah. Mereka bekerja hari ini untuk dapat makan hari ini, tidak
ada perencanaan untuk hari esok. Jangan tanya soal pendidikan atapun layanan
kesehatan, bagi mereka itu adalah barang mewah.
Belum
lagi stigma negatif yang didapatkan pemulung dari masyarakat karena
kehadirannya yang sering dianggap menimbulkan keresahan dan ketidaktenteraman
masyarakat—walaupun hal ini tidak terlepas dari sebagian pemulung yang sering
melakukan tindakan kurang terpuji—seolah-olah kondisi ini semakin mengukuhkan
status mereka sebagai 'orang pinggiran' atau kalo bahasa mahasiswanya
'masyarakat marginal'.
Nah,
waktu itu saya ketemu dengan seorang pemulung, bapak setengah baya,
Muhammad Tsani namanya. Obrolan ringan pun terjadi. Dari situ saya tahu kalau
beliau adalah 'pendatang' di kota Malang, sudah menikah dan memiliki 3 orang
anak, 2 diantaranya malah sudah berkeluarga. Sementara beliau merantau di
Malang, istri dan anak bungsunya tinggal di desa. Di Malang sendiri, beliau
tidak punya tempat tinggal tetap. Kadang menumpang di rumah teman sesama
pemulung, namun lebih sering tidur di pasar atau ngemper di
ruko-ruko.
Tatkala
saya tanya tentang jenjang pendidikan terakhirnya, pak Tsani mengaku hanya
tamatan SD saja. Begitu pula dengan ketiga orang anaknya, juga hanya sampai SD,
tak lebih baik dari ayahnya. Faktor ketiadaan biaya menjadi alasan utamanya.
Namun begitu, beliau bersyukur karena anak-anaknya tidak ada yang mengikuti
jejaknya, menjadi pemulung.
Pak
Tsani bercerita, telah menjadi pemulung sejak 1986. Sebelumnya beliau
pernah menjadi kuli bangunan. Namun karena dirasa terlalu berat dan hasilnya
tidak seberapa, akhirnya beliau tinggalkan, dan selanjutnya memilih untuk
memulung sebagai mata-pencahariannya. "mulung itu gampang, gak
ribet, bebas, gak diatur-atur sama orang lain" Ujar
beliau.
Dalam
sehari, pak Tsani memulung antara lima sampai delapan jam. Dari penjualan
barang bekasnya itu, beliau mampu mengumpulkan Rp.15.000 sampai Rp.30.000 per
hari. Bahkan kalo lagi beruntung, katanya, bisa sampai Rp.50.000 lebih. Beliau
mangaku, hasil dari memulung ini cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari—buat
makan dan rokok—bahkan sedikit banyak bisa menyisihkan untuk istri dan anaknya
di rumah, dan membawanya pulang setelah dirasa cukup. Biasanya, setiap dua
minggu sekali beliau pulang ke desa.
Menurut
pengakuannya, pak Tsani merasa cukup nyaman dengan pekerjaannya ini dan enggan
beralih profesi, walaupun hidup serba pas-pasan. Alasannya, beliau mengatakan
tidak memiliki keterampilan lain dan tidak punya modal untuk membuka usaha. Dan
ketika saya tanya, akan sampai kapan beliau tetap memulung? Beliau menjawab
akan terus memulung sampai beliau tidak kuat lagi, atau jika ada orang yang mau
memberinya pinjaman modal untuk membuka usaha lain.
Dan
salah satu hal positif yg saya tangkap dari sosok Muhammad Tsani adalah, beliau
selalu berusaha untuk tetap melaksanakan sholat lima waktu meskipun dengan
keadaan dan kondisinya yang seperti itu.
Inilah
sekelumit cerita saya dengan bapak pemulung itu beberapa waktu yg lalu. Namun
tentunya ini bukan hanya tinggal cerita dan kemudian menguap begitu saja. Setidaknya
ada beberapa hal yang dapat kita tangkap dari kisah di atas :
Pertama, bahwa menjadi pemulung merupakan salah satu bentuk
respon masyarakat ekonomi rendah atas kondisi dan perubahan sosial yang
terjadi, dimana mereka harus menentukan pilihan yang paling menguntungkan
diantara pilihan-pilihan yang ada, untuk mempertahankan eksistensi kehidupan
mereka. Meskipun pada akhirnya, pilihan menjadi pemulung mengantarkan
mereka pada posisi ter-marginal-kan di masyarakat.
Kedua, pilihan menjadi pemulung tidak selamanya murni karena
kondisi darurat atau terpaksa, karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Bahkan
pilihan menjadi pemulung cenderung berdasarkan pengalaman – pengalaman mereka
bekerja sebelumnya yang tidak menguntungkan. Para pemulung menilai bahwa
pekerjaan mereka sebelumnya tidak memberikan keuntungan yang memadai untuk
memenuhi kehidupan rumah tangga mereka, sebagaimana pada kasus di atas, dimana
pak Tsani lebih memilih menjadi pemulung daripada menjadi kuli bangunan, karena
penghasilan dari memulung dirasa lebih menjanjikan.
Kemudian
yang ketiga, meskipun identik dengan penyakit sosial
dan stigma negatif lainnya yang melekat pada pemulung, namun perlu kita pahami
bahwa para pemulung juga memiliki sifat-sifat positif, yang menurut saya patut untuk
kita contoh, diantaranya :
- Percaya
pada kemampuan diri sendiri.
Ditengah kondisi perekonomian keluarga yang tidak pasti dan posisi mereka
di daerah perkotaan dengan kehidupan yang keras dan individualis, mereka
memilih untuk hidup mandiri, tidak bergantung pada orang lain, menjaga
harga diri, menahan tangan dari meminta-minta, mengemis belas-kasihan
orang lain. Karena mereka sadar betul, bahwa menggantungkan pemenuhan
kebutuhan hidup mereka pada negara adalah suatu hal yang mustahil. Dan
mengharapkan belas kasihan orang lain yang akan secara rutin memberikan
bantuan kepada mereka hanyalah mimpi di siang bolong, di tengah-tengah
sikap individualis dan budaya hedonis yang berkembang di masyarakat. Maka
dari itu, tak ada pilihan lain bagi mereka kecuali harus bergantung pada
usaha dirinya sendiri.
- Cerdas
dan Kreatif. Pekerjaan memulung menuntut
para pemulung untuk mengembangkan kratifitas dan kecerdasan mereka. Mereka
harus kreatif dalam membaca dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada, di
tengah persaingan dalam memperebutkan sumber daya barang bekas yang
tersedia. Dan mereka juga harus cerdas dalam menentukan kapan waktu yang
tepat untuk memulung dan tempat-tempat mana saja yang strategis untuk
memulung.
- Berani. Pekerjaan memulung menuntut keberanian ekstra. Karena
kehidupan jalanan yang dijalani para pemulung adalah kehidupan yang keras
dan cukup berbahaya. Bahkan memungut sampah itu juga memerlukan
keberanian. Karena tidak sedikit orang yang tidak berani memungut sampah
hanya karena malu atau gengsi, apalagi di tempat-tempat umum seperti yang
dilakukan oleh para pemulung.
- Pekerja
keras. Tentunya kita tidak
sepakat kalau para pemulung dikatakan sebagai orang yang pemalas. Karena
bagaimana mungkin seorang pemulung dapat berjalan berkilo-kilo meter dalam
sehari untuk mengumpulkan barang bekas, kecuali hal itu menunjukkan bahwa
mereka adalah seorang pekerja keras.
- Gigih
dan Pantang menyerah. Tidak
setiap hari para pemulung mendapatkan banyak barang bekas untuk mereka
jual. Karena itu mereka harus terus mencari dan mencari dari satu tempat
ke tempat lainnya untuk mendapatkan barang bekas, sampai menurut mereka
cukup banyak untuk di jual. Itulah sebabnya mereka dituntut untuk gigih
dan pantang menyerah dalam bekerja.
Itulah
beberapa sifat positif para pemulung yg dapat saya ungkapkan. Dan menurut saya,
sifat-sifat diatas adalah modal untuk menjadi seorang wirausahawan atau
enterpreneur, andai saja para pemulung menyadari potensinya ini, tidak tertutup
kemungkinan mereka berpeluang menjadi seorang pengusaha sukses.
Selanjutnya
yang keempat, meskipun tidak sepenuhnya salah, stigma
negatif yang dilekatkan pada pemulung adalah sesuatu yang berlebihan. Karena
tidak semua pemulung berkelakuan buruk seperti yang dicitrakan selama ini.
Walaupun tidak dipungkiri ada oknum-oknum pemulung yang melakukan tindakan
kriminal, mencuri misalnya. Namun hal – hal yang bersifat kasuistik seperti ini
tentu tidak bisa dijadikan landasan untuk menggeneralisasikan bahwasanya
pemulung itu identik dengan pencuri. Setidaknya, pekerjaan pemulung lebih mulia
daripada pengemis yang meminta-minta ataupun para birokrat koruptor yang telah
jelas-jelas mencuri uang rakyat milyaran rupiah. Dan saya kira, tidak ada
seorang pun yang mencita-citakan dirinya menjadi pemulung.
Kelima, jika dilihat dari segi kesehatan, pekerjaan memulung
tentunya sangat berisiko tinggi terhadap menularnya penyakit. Kehidupan
pemulung di tempat yang jauh dari kata bersih, sangat berpotensi membuat mereka
terserang penyakit, seperti batuk pilek, penyakit kulit, disentri, hepatitis,
diare, TBC dan lainnya. Belum lagi pola hidup yang tidak sehat dan ditambah
konsumsi makanan yang boleh dikatakan jauh dari nilai gizi standar. Tentunya
ini memerlukan perhatian serius dari pihak-pihak terkait, dinas kesehatan
misalnya, untuk menangangi masalah ini. Karena para pemulung juga warga negara
yang juga berhak untuk menikmati layanan kesehatan.
Dan
terakhir yang Keenam, dari segi pendidikan, hampir
rata-rata pemulung berpendidikan rendah. Begitu juga dengan anak-anak mereka,
tidak lebih baik dari orang tuanya. Padahal pendidikan adalah salah satu sarana
untuk dapat memperbaiki kualitas hidup seseorang. Pendidikan mempengaruhi pola
pikir dan cara pandang seseorang. Bagaimana mungkin keluarga pemulung dapat
meningkatkan kualitas kehidupan mereka tanpa pendidikan yang memadai, tentunya
mereka tidak akan pernah lepas dari lingkaran kebodohan dan kemiskinan. Maka
dari itu, masalah pendidikan bagi para pemulung—anak-anak mereka
khususnya—harus menjadi perhatian serius bagi pihak-pihak terkait, terutama
pemerintah, khususnya dinas pendidikan.
Mungkin
inilah beberapa masalah yang dapat kita analisa dari hasil pengamatan terhadap
pemulung ini. Tentunya yang saya sampaikan ini hanya sebagian kecil saja dari
permasalahan pemulung yang tentunya lebih kompleks lagi. Semoga tulisan singkat
ini dapat membuka hati kita untuk dapat lebih peduli lagi terhadap sesama.
Jangan kita hanya sibuk memikirkan diri sendiri saja, karena hidup di dunia ini
toh hanya sementara... ^^
Oleh
: Eko Priadi (Co. PSDM LDK At-Tarbiyah UIN Maliki Malang)
Comments
Post a Comment