Nenek Senja

Di setiap sore nenek itu mematung di situ, menunggu senja hingga pada ujungnya. Ia duduk di sebuah bangku reot yang kayu-kayunya telah lapuk dimakan zaman. Matanya yang renta menatap sayup jalan setapak di kejauhan, penuh dengan cahaya harapan. Ketika senja sudah pada ujungnya, ketika matahari sudah hilang sempurna, seketika itu mata sang nenek basah dan ia pun masuk ke dalam rumahnya.

Kata ibu dia hidup sebatang kara. Ia tak pernah keluar dari rumahnya hingga sore menjelang senja. Sejak aku kecil ibu selalu mengirim makanan ke rumahnya, telah bertahun-tahun tapi tak pernah ada satu pembicaraanpun antara dia dengan ibu, atau antara dia denganku. Semua ia jawab dengan senyuman. Dulu ketika kecil, setelah mengantar makanan aku langsung berlari ketakutan. Setelah aku beranjak dewasa semakin lama aku semakin tertarik padanya. Kata orang dia gila, tapi menurutku tidak, nenek itu waras. Matanya seperti menyimpan seribu kisah yang telah bertahun-tahun ia pendam.

Suatu ketika di bulan Januari, ketika musim penghujan, sore itu hujan turun begitu derasnya, namun kulihat nenek itu tak bergeming sedikitpun dari bangku reotnya. Melihatnya demikian aku segera menghampirinya,    duduk disampingnya serta memayunginya.

“Mbah, monggo mlebet, jawah ngeten mengke panjenengan masuk angin,” [1]ucapku.

Namun nenek itu hanya memandangku dan tersenyum, kemudian ia kembali menerawang jauh pada jalan setapak di depan rumahnya. Aku pun terus memayunginya hingga senja pada ujungnya.
Ketika matahari benar-benar lenyap, nenek itu beringsut dari bangku reotnya. Ia tak pernah peduli apa yang terjadi pada sore di hari-harinya, ia akan tetap termenung di bangku reotnya, menerawang dengan mata penuh cahaya harapan.

Kata orang nenek itu gila, ada yang bilang ia gila karena suaminya terbunuh oleh para penjajah. Ada juga yang bilang bahwa ia telah dikutuk hingga ia gila dan tidak bisa bicara.  Tetapi menurutku nenek itu bukan orang gila. Untuk membuktikannya aku mengamatinya setiap sore. Di sana kutemukan pancaran cinta di cahaya matanya, namun juga ada beban yang terpendam juga sebuah harapan. Mata itu menyimpan seribu kisah yang ingin sekali ku ungkap.

Aku sudah bosan hanya mengamati seperti itu. Maka sore itu aku ikut duduk di samping nenek itu, menunggu senja hingga pada ujungnya. Ia memandangku dan tersenyum kemudian kembali menerawang. Hatiku bertanya, sebenarnya siapa yang ia tunggu, apa yang ia harapkan dan beban apa yang membuat matanya begitu sayu.

“Mbah, panjenengan nunggu sinten?menawi kulo saget mbantu madosi?”. Hingga akhirnya senja tiba pada ujungnya. Matanya basah, dan ia pun beringsut dari singgasana reotnya.

Nenek itu menangis, apa yang ia tangisi? Batinku. Sesaat setelah itu aku pun pulang ke rumah.

Sampai di rumah aku bertanya pada ibu, “Ibu, sebenarnya apa yang telah terjadi pada nenek itu?

“Entahlah nak, tapi dulu kakekmu pernah bercerita, suami nenek itu terbunuh pada perstiwa berdarah yang terjadi di kampung ini pada tanggal 31 september 1943 silam. Para pemuda yang memberontak semua terbunuh kecuali kakekmu, sejak saat itulah nenek itu sering terrmenung.

Tapi seperti apa sebenarnya tak ada seorang pun yang tahu.

Hingga pada suatu ketika, nenek senja tak menyambut senjanya, tak duduk di kursi reotnya. Aku telah menunggunya hingga senja benar-benar datang, namun ia tetap datang. Keesokan harinya ia tak datang lagi, aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Siang tadi saat mengantar makanan, ia masih terlihat baik-baik saja. Senja kedua ia tak datang lagi. Senja ketiga aku masih menunggunya, hingga senja berujung pada gelap sempurna. Nenek senja tak datang lagi, apa sebenarnya yang terjadi.

Aku pun masuk ke rumah, sholat magrib, kemudian menemui ibu.

‘Ibu, aku khawatir pada nenek, sudah tiga hari ia tidak keluar untuk menemui senja,” kataku pada ibu.

“Ibu juga khawatir le, coba kamu lihat ke rumahnya”, kata ibu.

Akupun pergi ke rumah nenek senja. Tak kutemui ia di ruang tengahnya. Aku ragu untuk lebih jauh mencarinya, rumah ini hanya terdiri dari tiga ruang, ruang tamu, kamar, dan dapur di belakang. Dengan ragu kulangkahkan kakiku ke dalam kamar nenek itu. Perlahan kubuka pintu yang berdebu, dan dipenuhi sarang laba-laba di sana-sini. Ku tengokkan kepalaku ke dalam kamar tersebut.

Kutemui nenek sedang terpekur dalam sujudnya. Kutunggu lama, namun ia tak kunjung bangkit dari sujudnya. Aku pun mulai khawatir, kupanggil berulang-ulang namun ia juga tak kunjung bangkit. Kudekati nenek , hingga bisa kupastikan ternyata ia sudah tak bernafas lagi.

“Innalillahi wa innailaihi roji’un,” bisikku. Setelah itu mataku tertuju pada meja usang yang terletak di sudut kamar. Tergeletak sebuah kertas di atasnya, aku pun menghampirinya.

Tertulis, “ Kagem: Sunarsih, ingkang nduweni atiku.
Aku bakal bali ing pamungkase dino, kaya nalikane wayah kito ketemu.”

Bertahun-tahun lamanya nenek menunggu suaminya, tak pernah lelah, hingga senja mencapai ujungnya. Karena cinta hanya mengenal pangkal, namun cinta tak pernah mengenal ujung.

Dan di ujung episode kehidupannya, ia menemukan cinta yang lebih sempurna, dalam ruku’ dan sujudnya, cinta pada sang khalik yang tak kan pernah berakhir, cinta yang abadi, cinta yang tak berpangkal dan tak berujung.


[1] Nek, mari masuk, hujan gini, nanti nenek masuk angin.
[2] Untuk:sunarsih, pemilik hatiku. Aku akan kembali ketika senja, seperti saat awal kita berjumpa.

Oleh Zahra Annisa

Comments

Popular posts from this blog

APA SIH, LDK? KENAPA HARUS LDK?

Surat Keputusan Pengurus LDK At-Tarbiyah 2018

[DAILY TAUJIH] Ketika Cinta Berbuah Surga