MASJID KAMPUS, KEKUATAN RAKSASA MEMBANGUN BANGSA*


"Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir,
itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam nereka.Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah
Ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,
Serta mendirikan sholat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) kecuali kepada Allah, maka merekalah orang-orang
yang mendapat petunjuk" (Q.S. At-Taubah (9): 17 – 18)

Ketika Rasulullah Muhammad SAW berhijrah dari Mekkah ke Madinah untuk menjalankan misi dakwah yang diembankan Allah atas dirinya, langkah pertama yang dilakukan adalah mendirikan masjid yang diikuti dengan mempersaudarakan kaum anshar dengan muhajirin. Langkah yang dilakukan Rasulullah ini patut untuk disimak, mengapa masjid menjadi pilihan untuk dibangun pertama kali dan bukan membangun istana ataupun rumah untuk tinggal beliau dan kaumnya. Hal ini karena pada masa Rasulullah, masjid menjadi pusat kegiatan umat Islam. Berbagai kegiatan seperti pendidikan, tempat musyawarah dan diskusi untuk menyelesaikan berbagai problem masyarakat. Masjid juga berfungsi sebagai sarana untuk mempertemukan kaum muslimin untuk saling bersilatu rahmi melalui pertemuan-pertemuan yang memungkinkan seperti memanfaatkan waktu sholat jamaah lima waktu dan sholat jum'at.


Kini, lima belas abad kemudian, telah berdiri jutaan masjid di penjuru dunia, masjid telah hadir baik di desa maupun di kota metropolitan, bahkan masjid juga hadir di mall-mall dan terminal-terminal tak ketinggalan di kampus-kampus (bukan saja kampus yang dikelola oleh lembaga Islam tetapi hadir juga di kampus-kampus umum). Salah satu masjid yang lumayan ramai dengan aktivitas adalah masjid kampus. 
Masjid ini dinamakan masjid kampus   karena   letaknya   berada  di   lingkungan   kampus   yang membangunnya sebagai sarana untuk beribadah bagi civitas akademika dan masyarakat sekitarnya. Keberadaannya dilingkungan kampus memberikan nilai lebih dari masjid yang berada diluar kampus. Hal ini karena pertama, jamaah masjid kampus mayoritas adalah civitas akademika dari kampus yang bersangkutan. Jamaah kelompok ini adalah individu-individu pilihan yang berada dari komunitas lainnya. Secara intelektual, kelompok kampus adalah segelintir orang yang memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan tinggi di antara rakyat Indonesia yang hanya lulusan SD dan tidak tamat SLTP.


Kedua, dari sisi umur jamaah masjid kampus adalah individu-individu yang masih muda. Pada usia muda seperti inilah puncak dari kekuatan yang dimilikinya baik kekuatan fisik maupun potensi akalnya yang masih memungkinkan untuk berkembang (bukankah salah satu wasiat memanfaatkan yang lima sebelum datang yang lima adalah waktu muda ?).


Ketiga, terkait dengan keadaan umurnya yang masih muda ini, secara psikologis pada usia muda seperti inilah manusia sangat mudah untuk menerima ide-ide segar dan baru. Dengan demikian, nilai-nilai Islam yang universal dan mendasar dapat diterima dengan cepat dan mudah dalam pribadi-pribadi muda ini. Tak jarang ditemui, seseorang yang ketika duduk di bangku sekolah menengah nampak biasa-biasa saja, tetapi menjadi sangat militan ketika sudah bersentuhan dengan aktifis kampus. Bahkan kuatnya semangat yang dimiliki, menjadikan para pemuda ini sebagai agen dakwah yang militant. Pada masa Rasulullah pun banyak dikelilingi oleh generasi muda yang masih berumur   belasan,   mereka   juga   menjadi          pejuang-pejuang Islam yang gigih. Bukankah kita pernah mendengar jeritan keras Soekarno, tatkala membakar semangat anak muda Indonesia, "berikan 10 pemuda kepada ku dengan semangat  patriot tinggi, maka akan aku rubah dunia ini".
Keempat, sebagai generasi-generasi terdidik maka jamaah masjid kampus merupakan generasi yang sangat berpotensi untuk menjadi pemimpin masyarakat dan bangsa di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pembinaan tauhid dan akhlak menjadi sangat penting dilakukan pada kelompok ini. Inilah calon-calon kelas menengah yang diharapkan dapat membimbing ummat kearah yang lebih baik.


Kelima, adalah membina jamah masjid kampus berarti membina pemimpin bangsa di masa mendatang.
Masjid kampus selama ini telah menujukkan perannya yang sangat signifikan dalam melahirkan generasi-generasi pemimpin bangsa. Sekedar menyebutkan beberapa nama, Kuntowijoyo (almarhum) (Budayawa dan Dosen UGM), Amien Rais (Mantan Ketua MPR RI), Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR RI), Yusril Ihza Mahendra (Mantan Menkeham), Ahmad Zahro (Guru Besar IAIN Surabaya dan aktifis Masjid Kampus At-Tarbiyah IAIN di Malang, tempoe doeloe) adalah contoh dari tokoh nasional yang lahir dari rahim masjid kampus. Keberadaan masjid kampus semakin menarik untuk dilirik para aktifis kampus mahasiswa dengan diberlakukannya  NKK/BKK pada tahun 1978 oleh rezim orde baru. Pemberlakuan kebijakan ini membuat institusi kehamasiswaan seperti Dewan Mahasiswa yang kemudian dirubah menjadi Senat Mahasiswa yang sekarang disebut Badan Eksekutif Mahasiswa (kren habis) menjadi mandul. Para aktifisnya senantiasa berada dalam bayang-bayang kekuasaan rektor selaku pimpinan perguruan tinggi yang juga menjalankan fungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah.  Dalam situasi politik seperti ini, banyak aktifis mahasiswa yang kemudian melirik masjid kampus sebagai ajang untuk mengembangkan potensi diri dan mengekspresikan gagasannya. Dan kini telah dapat dilihat hasil panen dari proses pengkaderan  masjid kampus seperti telah disebutkan di atas. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari jerih payah yang telah dilakukan oleh "kakek" guru masjid kampus Dr. Imaduddin Abdul Rahim atau yang lebih popular dengan nama bang Imad.
Oleh karena keunggulannya maka masjid kampus perlu untuk dioptimalkan perannya dalam membina generasi masa depan yang memiliki ilmu pengetahuan dan landasan keimanan yang kuat. Keberhasilan dalam pengelolaan masjid kampus akan memberi dampak yang sangat luas pada pembangunan bangsa pada masa yang akan datang. Untuk itu diperlukan pemikiran-pemikiran berkenaan dengan pengelolaan masjid kampus.

Khittah Masjid Kampus
Untuk menjaga agar aktifis masjid kampus tetap berada dalam jalur maka perlu dirumuskan batasan-batasan (khittah) perjuangannya. Ada tiga dimensi khittah yang perlu dijadikan pegangan bagi aktifis masjid kampus dalam menjalankan program dan pengabdiannya kepada ummat dan bangsa. Ketiga dimensi khittah tersebut adalah dimensi keislaman, intelektualan, dan keindonesiaan.
Demensi keislaman bermakna bahwa aktifis kampus Islam (bukan masjid kampus) menjadikan Islam sebagai  sistem nilai yang diimani, dikaji, dan didakwahkan. Nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam nan luhur sudah seharusnya   untuk   diterjemahkan  ke dalam realitas kehidupan kekinian. Saat ini idealitas nilai Islam jauh bila dihadapkan pada realitas kehidupan ummatnya. Kemuliaan nilai-nilai ajarannya masih berada dalam dunia abstrak, oleh karena itu sudah sewajarnya apabila para aktifis kampus menjadikan masjid sebagai tempat untuk mengkaji nilai-nilai ajaran Islam untuk kemudian menerjemahkan pesan-pesan Islam. Pesan-pesan ini kemudian diimplementasikan dalam konteks masyarakat Indonesia kekinian.
Dengan demikian nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran agama (Islam). Nilai-nilai ke-Islaman inilah yang kemudian diperjuangkan agar visi rahmatan lil 'alamin terwujud di bumi nusantara. Harapannya adalah adanya korelasi antara prilaku keagamaan individu (muslim) dengan Rabnya. Yang lebih penting adalah bagaimana substansi nilai tersebut bisa menjiwai karakter dan prilaku bangsa.



Dimensi kedua adalah intelektual. Sebagai komunitas kampus, kata intelektual merupakan hal yang sangat akrab di telinga. Aktifis masjid kampus berbeda dari aktifis masjid yang lain. Dukungan Intelektual yang dimilikinya sudah seharusnya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kemajuan ummat. Di saat ummat Islam sedang berada dalam kegamangan seperti sekarang ini, dibutuhkan bimbingan bagi kaum intelektual seperti aktifis masjid kampus. Bagaimana ummat bertindak menyikapi dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, jelas membutuhkan pandangan-pandangan dari intelektual muslim seperti aktifis masjid kampus. Inilah tanggung jawab sosial yang harus dimainkan, agar masjid kampus eksistensinya dapat dirasakan manfaatnya bagi ummat dan bukan menjadi menara gading yang teralienasi dari kehidupan ummat. 


Sementara  dimensi   ketiga   dari  khittah masjid kampus adalah keindonesiaan. Hal ini dimasukkan bahwa para aktifis masjid kampus yang tergabung dalam golongan intelektual harus sadar sebagai warga negara Indonesia. Tanggung jawab terhadap Indonesia sebagai negara dan bangsa. Indonesia sebagai negara berarti perlunya ditumbuhkan rasa cinta terhadap negara Indonesia. Rasa cinta terhadap negara ini dapat direfleksikan ke dalam kepedulian para aktifis masjid kampus untuk memberikan masukan-masukan yang konstruktif terhadap para penyelenggara negara, termasuk didalamnya menjaga keutuhan negara dari ancaman dan gangguan luar, bukan malah sebaliknya bahwa masjid kampus telah melahirkan teroris baru. 


Beridirnya masjid kampus dan tumbuhnya gerakan masjid kampus di Indonesia telah mampu menggerakkan dakwah di perguruan tinggi sebagai wadah pengkaderan intelektual muslim yang berakhlakul karimah dan siap menjadi khalifatullah fil ardh. Peran masjid kampus untuk mewujudkan generasi muda yang beriman, berilmu dan berakhlak sehingga mampu menghadapi persaingan global sangatlah diharapkan di tengah kondisi sosial, ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan budaya Indonesia yang semakin terpuruk dengan tingkat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang tinggi. (bersambung) Semoga Allah SWT senantiasa menolong hambanya. Amien


By. Abdul Qodir Qudus (Khodimul Masjid At-Tarbiyah UIN Malang)





.



Comments

Popular posts from this blog

APA SIH, LDK? KENAPA HARUS LDK?

Surat Keputusan Pengurus LDK At-Tarbiyah 2018

[DAILY TAUJIH] Ketika Cinta Berbuah Surga