ISLAMISASI SAINS
Westernisasi, sekularisasi, liberalisasi, Kristenisasi
dan lain sebagainya adalah istilah-istilah resmi. Istilah itu mengandung konsep
yang bermuatan nilai, kepercayaan atau ideologi. Istilah ini juga merupakan
gerakan penyebaran nilai, agama, ideologi, cara berpikir.
Dalam Islam juga terdapat istilah “Islamisasi”. Meski
istilah ini baru dipopulerkan oleh al-Attas tahun 70an, prakteknya telah
berjalan sejak zaman Nabi.
Sejatinya Islamisasi adalah karakter Islam
yang sesungguhnya, dan bukan akulturasi. Islam bukan produk budaya Arab. Sebab
praktek kehidupan Jahiliyyah di-Islamkan. Menikah disucikan,
berdagang ditertibkan, berperang diatur, ibadah ditentukan dengan tata cara
khusus, kemusyrikan di-tauhid-kan.
Di dunia Melayu Islam mencerahkan worldview
mitologis menjadi rasional. Buktinya banyak aspek kehidupan bangsa Melayu
menggunakan istilah-istilah Arab. Nama dan jumlah hari dalam seminggu adalah
hasil Islamisasi. Istilah keilmuan Islam seperti nalar, fikir, ilmu, jasmani,
lahir, batin, kalbu, sadar, adil, zalim dan sebagainya diambil
dari worldview Islam. Masa itu Islamisasi berjalan wajar tanpa peperangan
dan resistensi.
Namun, kini istilah “Islamisasi” menjadi
menakutkan dan ditolak banyak pihak secara tidak wajar. Bahkan gerakan yang
berbau Islam pun segera diberi label Islamisasi. Pemberlakuan undang-undang
pornografi, (PERDA) anti perjudian, pelacuran, minuman keras dan sebagainya
dianggap gerakan Islamisasi.
Ketika Prof. M. Salim mengadakan
pameran 1001 Inventions – Discover The Muslim Heritage In Our World, di Museum of
London, ia segera dituduh melakukan Islamisasi Inggris. Di Perancis
mengenakan jilbab juga dianggap Islamisasi. Jadi dunia tidak saja menolak
istilah Islamisasi, tapi segala gerakan yang berbau Islam adalah upaya
Islamisasi dan itu dianggap “berbahaya”.
Kasus di atas menjalar kepada gerakan
Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer (Islamization of contemporary
knowledge). Tidak sedikit profesor yang “alergi” dengan istilah ini.
Alasannya beragam. Fazlur Rahman menganggap
ilmu itu netral dan tidak perlu di-Islamkan. Abdussalam peraih Nobel Fisika
dari Pakistan juga sinis, “Jika ada Ilmu Islam, maka disana nanti akan ada ilmu Hindu, ilmu
Budha, ilmu Kristen.”
Ada pula yang menyindir jika Islamisasi
ilmu berhasil, maka nanti akan ada pesawat terbang Islam, sepeda motor Islam,
kereta api Islam dan sebagainya.
Di Indonesia para profesor yang enggan
menerima istilah itu mengganti dengan istilah “Pengilmuan Islam” atau
integrasi ilmu. Konon untuk sekedar menghindari arogansi yang terkandung pada
istilah “Islamisasi”.
Tapi ini justru
mengesankan inferiority complex, seakan Islam itu tidak ilmiah.
Sedang yang kedua masih menyisakan banyak hal. Sebab integrasi sesuatu yang
kontradiktif jelas tidak mungkin. Integrasi, karena itu. harus berakhir dengan
Islamisasi.
Benarkah ilmu itu netral? Jawabnya tentu
tidak. Para saintis Barat sekelas Thomas Kuhn percaya bahwa ilmu itu sarat
nilai. Jika netral mengapa ilmu politik Amerika tidak laku di Rusia, dan
mengapa ilmu waris dalam Islam tidak dipakai saja di Barat.
Sejarah ilmu membuktikan bahwa ilmu tidak
lahir dari ruang hampa. Artinya, masing-masing worldview berpengaruh
besar dalam menentukan asumsi dasar ilmu, meski dalam beberapa aspek
metodologinya bisa sama.
David K. Naugle dalam
bukunya Worldview, History of Concept juga sepakat. Namun menurutnya “Pengaruh worldview
terhadap epistemologi berbeda-beda pada setiap disiplin ilmu. Ilmu sosial lebih
banyak dibanding ilmu eksak.
Karena ilmu tidak netral itulah maka
Islamisasi menjadi mungkin. Konsepnya, Profesor Naquib al-Attas, cukup sederhana.
Pertama, Mengeluarkan elemen-elemen asing
dari setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang tidak sesuai dengan Islam.
Tentu elemen itu tidak sedikit, karena menyangkut proses epistemologi, seperti
interpretasi fakta-fakta, formulasi teori, metode, konsep, aspek-aspek nilai
dan etika, dan lain sebagainya.
Kedua, Memasukkan elemen-elemen dan
konsep-konsep kunci Islam kedalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang
relevan. Konsep-konsep itu adalah konsep tentangdin, manusia (insan), ilmu
(ilm dan ma’rifah), keadilan (‘adl), amal yang benar (amal sebagai adab) dan sebagainya.
Karena Islamisasi ilmu pengetahuan
kontemporer itu mungkin, maka Islamisasi Ilmu ekonomi konvensional itu sebuah
keniscayaan. Kini seluruh dunia menerima ekonomi Islam (syariat) itu
ada. Dan itu sebenarnya adalah hasil integrasi dan Islamisasi yang telah,
sedang dan terus berlangsung.
Oleh Dr. HAMID FAHMY ZARKASYI
Comments
Post a Comment