DEWAN PAKAR ASWAJA CENTER: SEPILIS PAHAM TERLARANG UNTUK UMAT ISLAM
Hidayatullah.com
Antara budaya dan Islam bisa menyatu jika
budaya itu tidak bertentangan dengan syari’ah. “Contohnya sarung dan baju koko ini,
sudah memenuhi syarat untuk menutup aurat, maka kita ikuti saja budaya
nusantara ini, karena tidak bertentangan dengan syari’at”, demikian disampaikan anggota
Dewan pakar Aswaja Center PWNU Jawa Timur, Idrus Romli dalam seminar bertajuk “ Pribumisasi
Islam: Memahami Islam Serta Relasinya Dengan Sosial Budaya ” Hari Sabtu
lalu (14/03/2015).
Dalam seminar yang dilaksanakan di gedung
Soekarno Rektorat UIN Malang ini, Gus Idrus, demikian ia akrap disapa
mengungkapkan bahwa jika suatu budaya bertentangan dengan syariah maka ditolak.
Sementara kita perlu menerima budaya yang tidak bertentangan dengan syariah
sebagai jalan untuk berdakwah. Selain menerangkan tentang relasi Islam dan
budaya, kiai muda asal Jember dalam kesempatan ini menerangkan haramnya paham
SePILIS (istilah untuk penganut sekularisme, pluralisme dan liberalisme).
“Saya sepakat dengan isi fatwa MUI tersebut, bahwa sekularisme,
pluralisme dan liberalisme adalah faham terlarang bagi umat Islam”, tegasnya.
Terkait dengan problem pemikiran Islam saat
ini, umat Islam perlu memahami mana perbedaan yang bisa ditolelir dan mana yang
perlu disesatkan.
“Kita harus tahu, mana perbedaan yang furu’ (cabang) dan mana yang ‘ushul
(pokok), jangan sampai yang ushul dianggap furu’ , begitu juga sebaliknya. Ia
mencontohkan, perbedaan Ahlus Sunnah dengan Syiah dan Ahmadiyah adalah
perbedaan pada ‘ushul (pokok) agama, jadi perbedaannya bukan pada tataran shawab dan
khata’ , tetapi pada haq dan bathil, Sunnah dan Bid’ah serta
Hidayah dan Dholalah ”, tegasnya.
Terkait dengan itu, menurutnya kita tidak
perlu risau dengan term sesat dan tidak sesat. Itu biasa dalam Islam.
Sebagaimana ada orang kafir dan tidak kafir. “Yang sesat atau kafir bukan berarti
kita akan membunuhnya tidak itu,” tambahnya yang disambut aplaus hadirin.
Selain Idrus Ramli, seminar Nasional ini
juga menghadirkan Ulil Abshar Abdallah, mantan Koordinator JIL (Jaringan Islam
Liberal) dan Ach Dhofir Zuhry, S.Sos., M.Fil, ketua Sekolah Tinggi Filsafat
al-Farabi, Kepanjen, Malang.
Dalam acara yang dilaksanakan oleh
komunitas mahasiswa bernama CSS Mora ( Community of Santri Scholars of Ministry
of Religious Affairs) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini, Ach. Dhofir Zuhry
menyatakan dukungannya untuk Ulil Abshar Abdalah.
“Pemikiran kritis sedikit seperti Mas Ulil, kok sudah dibilang kafir
dan sebagainya”, ujarnya.
Sementara Ulil yang kini aktif di sebuah
partai politik itu tampaknya lebih hati-hati mengeluarkan statemen. Bahkan
tidak terlalu dalam membahas tema seminar. Ia berterus terang menyampaikan
kekurang-tertarikannya untuk membahas tema yang ada. “Saya mau memberikan
suntikan-suntikan motivasi pada sesi seminar ini”, ujarnya.
Namun pada sesi akhir ia menyinggung isu
intoleransi suatu kelompok di Indonesia. Dalam penjelasannya, Ulil mengatakan,
kita semua harus bersikap toleran terhadap perbedaan yang ada, termasuk dengan
Syiah, Ahmadiyah dan Wahabi, karena mereka semua berhak untuk tinggal dengan
damai di negeri ini.
Comments
Post a Comment