Adab dan Universitas
Belalang menjadi burung elang.
Kutu menjadi kura-kura, dan
Ulat berubah menjadi naga.
Itulah syair pujangga Abdullah Abdul Qadir
al-Munsyi, ditulis pertengahan abad 19. Sekilas ia seperti sedang bicara
evolusi Darwin, atau cerita bim salabim ala Herry Potter. Tapi
sejatinya ia sedang bicara tentang perubahan yang aneh. Perubahan tentang bangsanya
yang kehilangan adab.
Metafora ini mudah diterima oleh bangsa
Melayu, tapi tidak bagi orang Jawa. Orang Jawa lebih mudah paham dengan
dagelan “Petruk jadi ratu”.
Ya dagelan, sebab ada perubahan status secara tidak alami atau
tidak syar’i. Bukan gambaran diskriminatif, bukan pula rasial, tapi
loncatan status yang abnormal.
Munsyi tentu paham belalang mustahil jadi
burung elang, kutu jadi kura-kura. Ia juga paham mengapa Tuhan mengizinkan
kepompong bisa jadi kupu-kupu yang cantik.
Tapi, yang ia gelisahkan mengapa ini bisa
terjadi di dunia manusia. Semua orang berhak mencapai sukses, tapi mengapa
sukses dicapai dengan mengorbankan moral. Kita menjadi lebih paham setelah
membaca bait berikutnya:
“Bahkan seorang yang hina dan bodoh dapat pandai dan terhormat,
Jika memiliki harta. Sedangkan orang miskin
tidak dipandang walaupun pandai dan terhormat”.
Munsyi seperti sedang memberi tugas kita
untuk menjawab. Dimana letak kesalahannya. Yang dengan cerdas menjawab adalah
SM Naquib al-Attas, ulama yang juga pakar sejarah Melayu. Letak kesalahannya,
katanya, ada pada lembaga pendidikan kita. Pendidikan kita tidak menanamkan
adab. Adab adalah ilmu yang berdimensi iman, ilmu yang mendorong amal dan yang
bermuatan moral.
Sumbernya ada dua: faktor eksternal dan
internal. Yang pertama, karena besarnya pengaruh pemikiran sosial,
politik, ekonomi dan kebudayaan Barat. Yang kedua, karena lemahnya
daya tahan tubuh umat Islam.
Pendidikan kita tidak menanamkan adab. “Ritual” pendidikan
memang terus berjalan, tapi maqasid-nya tidak tercapai. Lembaga pendidikan
umat Islam bisa menghasilkan SDM bidang tehnik, ekonomi, kedokteran, manajemen,
tapi menghasilkan peradaban Islam.
Tanda-tanda hilangnya adab
sekurang-kurangnya ada 3: Kezaliman, Kebodohan dan Kegilaan. Zalim kebalikan
adil artinya tidak dapat meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dalam adab
kesopanan orang Jawa disebut tidak empan papan.
Jelasnya tidak bisa memahami dan menerapkan
konsep secara proporsional. Artinya mencampur dua atau tiga konsep yang saling
bertentangan. Seperti menyampur keimanan dengan kemusyrikan. Mewarnai amal
dengan kemaksiatan dan kesombongan. Tauhid dengan paham
dikotomis-dualistis dan sebagainya.
Bodoh atau dalam bahasa
al-Ghazzali hamaqah bukan jahildan buta aksara. Bodoh tentang
cara mencapai tujuan. Karena tidak tahu apa tujuan hidupnya, seseorang jadi
bodoh tentang cara mencapainya. ”Anda harus bisa kaya dengan segala cara” adalah bisikan Machiaveli yang
diterima dengan sukarela.
Korupsi, menipu, manipulasi dan sebagainya
pun bisa menjadi cara meniti karir. Anda bisa jual diri asal bisa jadi
selebriti. Anda bisa jadi pejabat asal mahir menjilat dan berkhianat.
Itulah mengapa Islam datang menawarkan jalan dan cara mencapai tujuan yang
disebut syariat.
Gila artinya salah tujuan, salah menentukan
arah dan tujuan hidup, salah arah perjuangan. Akarnya tentunya
adalahhamaqah atau kebodohan. Yang bodoh akan negeri impian akan bingung
kemana akan mendayung sampan. Yang bodoh akan arti hidup tidak akan tahu apa
tujuan hidup. Yang jahil tentang arti ibadah tidak akan pernah tahu
apa gunanya ibadah dalam kehidupan ini.
Akibatnya, aktifitas demi kepentingan
pribadi (linnafsi), kehormatan diri (lil jah), harta (lil mal) tiba-tiba
diklaim menjadi Demi Allah, (Lillah).
Jika pendidikan kita benar-benar
menanamkan adab, mengapa peradaban Islam tidak kokoh berdiri. Mengapa kita
begitu gengsi pada hutang luar negeri, tapi bangga dengan konsep-konsep
pinjaman luar Islam. Mengapa kita hanya mampu menjustifikasi konsep-konsep
asing dan tidak mampu membangun konsep sendiri.
Orang Barat begitu percaya diri dengan
konsep ciptaannya, tapi mengapa kita tidak. Cardinal John Newman, misalnya,
begitu yakin tentang gambaran universitas humanisme Kristen dalam The Idea
of University, Defined and Illustrated.
Karl Jasper dalam The Idea of
University tegas menggambarkan konsep
universitas humanis-eksistensialis.J. Douglas Brown dalam The Liberal
University-nya bisa menggambarkan dengan jelas pelbagai peran universitas dalam
mencetak “manusia sempurna” ala Barat.
Tapi mengapa identitas Islam pada
universitas Muslim tidak nampak jelas. Mengapa Muslim malu-malu memerankan
universitas Islam dalam membangun peradaban Islam.
Universitas Islam harus berani membangun
konsep ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, sains Islam, budaya Islam
dan sebagainya. Universitas Islam harus bisa mencerminkan bangunan pandangan
hidup Islam. Universitas Islam tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu,
tapi juga merupakan sumber gerakan moral dan sosial serta agen perubahan.
Universitas harus menjadi pelopor dalam menciptakan manusia-manusia yang adil
dan beradab agar dapat membangun peradaban yang bermartabat.
Oleh Dr. HAMID FAHMY ZARKASYI
Comments
Post a Comment