Mengislamkan Worldview
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Tabligh (mendakwahkan) risalah adalah wajib bagi Nabi.
Karena itu Nabi mengirim surat kepada raja-raja mengajak mereka masuk Islam.
Salah satu suratnya dikirim kepada Ebrewez, kaisar Persia. Pimpinan negara
adikuasa dan cucu mendiang kaisar Khosru I, yang dinobatkan jadi Kaisar baru
pada tahun 590 M. Itupun gara-gara ayahnya kaisar Murmuza IV terbunuh. Dalam
bukunya Tarikh al-Muluk wa al-Umam, al-Tabari menceritakan bahwa Ebrewez
tergolong raja Persia yang paling kuat. Jajahan dan kekuasaannya paling luas.
Prestasinya tak tertandingi oleh kaisar sebelumnya. Karena
itulah ia digelari Ebrewez yang berarti si Perkasa. Dalam bahasa Arab disebut
al-Mudhaffar. Karena itu wajar jika ia dikenal suka menunjukkan kemewahan dan
kebesarannya, menimbun harta kekayaan dan perhiasan. Ketika ia memindahkan
singgasananya dari bangunan lama ke bangunan baru tahun 607-608 M harta yang
dipindahkan terhitung sebanyak 468 juta gantang emas. Pada tahun ke 13 dari
kekuasaannya kekayaannya mencapai 880 juta gantang emas.
Surat Nabi yang singkat itu diantaranya berbunyi “Masuklah Islam agar anda
selamat dan jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusi”. Namun, ternyata Ebrewez
bukan penguasa yang bijak bestari. Bukan pula pemimpin yang adil dan beradab.
Ia begitu pongah bagai Fir’aun dan
angkuh tak tersentuh. Yang pasti ia tidak dapat hidayah. Dan benar, ketika cucu
Anusyirwan itu menerima surat Nabi ia sangat murka. Ebrewez serta merta
merobek-robek surat dari Nabi itu. Dan dengan pongahnya ia berkata,”Pantaskah orang itu menulis
surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku?”
Namun, setelah mendengar laporan ulah Ebrewez itu tidak
sedikitpun memancing amarah Nabi. Dengan tauhid dan tafwidh-nya yang kuat Nabi
yakin dan pasrah. Hanya Allah yang dapat memberi dan mencabut kekuasaan. Nabi
membalas dengan doa sederhana. Tanpa emosi dan rasa perkasa “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya” (Mazzaqa Allah mulukahu). Bagaimana
caranya, digambarkan Nabi begini, nanti: “Allah
memberi kekuasaan pada putera kaisar Persia yang bernama Syiraweh untuk
mengalahkan dan membunuh ayahnya.”
Nabi bukan futurologi, tapi itulah Nabi. Doa dan gambaran Nabi benar terjadi.
Pada tahun 628 M putera Ebrewez yang bernama Qabaz yang digelari Syirawaih itu
merebut kekuasaan dan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun
kemudian berkuasa, tapi tidak lebih dari empat bulan saja ia diturunkan.
Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga
sepuluh kali dalam masa empat tahun. Itulah kenyataan dari mazzaqa Allah
mulukahu. Allah benar-benar telah merobek-robek kekaisaran itu. Selama itu
kerajaan mengalami kekacauan dan huru-hara Akhirnya rakyat berhasil mengangkat
kaisar Yazdajir sebagai kaisar Persia terakhir dari keluarga Sasaniah. Bagi
yang berfikir sekuler, itu semua terjadi karena proses politik. Tidak ada
campur tangan Tuhan. Kaisar jatuh oleh rakyat, bukan dijatuhkan oleh
Tuhan. Tapi bagi Mu’min, itulah jawaban doa Nabi. Begitulah cara Allah
memberi dan mencabut kekuasaan.
Di masa kekuasaan kaisar Yazdajir (sekitar tahun 637) inilah
tentara Islam datang ke Persia. Namun, kerajaan Persia yang telah berusia empat
abad sudah seperti kakek gaek yang ompong, lemah dan sakit-sakitan. Ketika kaum
Muslimin datang, dapat dikatakan tanpa perlawanan dan penduduknya masuk Islam
dengan sukarela. Kekaisaran itu benar-benar runtuh. Bahkan putera-puteri kaisar
sangat berminat menikah dengan bala tentara Islam, dan idolanya adalah Ali bin Abi
Talib. Keruntuhan kerajaan Persia persis seperti yang diramalkan Nabi delapan
tahun sebelum itu : “Jika kaisar
Persia hancur tidak akan ada kaisar lagi sesudahnya.” (Hadith Ibn Kathir, jld. 3)
Namun, Muslim tidak datang untuk melakukan invasi apalagi kolonialisasi.
Kolonialisasi atau eksploitasi bukan karakter Muslim dan peradaban Islam.
Muslim tidak memboyong kekayaan Persia ke jazirah Arab. Konsepnya adalah
hijrah. Berpindah, hidup, berkarya dan memakmurkan kawasan yang dituju lahir
batin. Istilah yang digunakan al-Qur’an
bukan penaklukan tapi pembukaan atau kemenangan (al-Fath), seperti fathu
Makkah, fathu Andalus, fathu Misra dan sebagainya Membuka, membebaskan,
menyelamatkan atau mengislamkan. Para ulama dan bala tentara Muslim mengajari
bangsa Persia al-Qur’an, Hadith,
bahasa Arab dan pandangan hidup Islam. Yang dahulu jahil menjadi alim, yang
dulu tersesat mendapat petunjuk, yang dulu miskin menjadi kaya dan makmur.
Itulah rahmatan lil alamin.
Kepercayaan Persia kuno yang mitologis dan animistis
perlahan berganti dengan aqidah Islam yang rasional. Adat istiadat berganti
syariat. Tradisi kekuasaan, kemegahan, dan kemewahan berganti tradisi ilmu.
Mungkin bala tentara Islam, ulama dan relawan Arab itu tahu sabda Nabi bahwa “andaikata ilmu itu berada di
bintang Suraya pasti akan dicapai oleh orang-orang Persia”. (Lihat Musnad Ahmad, jld 2).
Ternyata, benar setelah ilmu-ilmu Islam yang tinggi itu
dicapai dari kawasan ini lahir ulama-ulama besar dalam sejarah Islam. Tradisi
ilmu Islam telah melahirkan ulama seperti al-Khawarizmi, Imam Bukhari,
al-Isfahani, Fakhr al-Din al-Razi, Ibn Sina, al-Ghazzali, Ibn Taymiyyah dsb.
Dari sini pulalah lahir kekhalifahan besar Islam, Abbasiyah yang bertahan
selama 5 abad (750-1250), lebih lama dari kekaisaran Persia.
Dalam bacaan orang liberal dan pendukung keras HAM, masuknya
umat Islam ke Persia akan dianggap penindasan bangsa lain. Di nusantara mereka
pernah menuduh Islam sebagai agama pendatang. Padahal Muslim masuk ke nusantara
mencerahkan masyarakatnya yang dulu dihegemoni oleh mitologi menjadi teologi
yang rasional. Islam juga mempersatukan berbagai ras suku dan bahasa melalui
persaudaraan agama. Jika cara berfikir seperti ini diterapkan untuk semua
bangsa di dunia, Amerika juga harus dianggap pendatang dan penindas bangsa
Indian, Israel perampas tanah dan penindas bangsa Palestina. Australia penindas
bangsa Aborigin. Jadi, menghukumi masa lalu dengan aturan dan tertib masa kini
adalah naïf.
Meski umat Islam menduduki dan mengislamkan bangsa lain,
mereka datang membawa pandangan hidup yang mencerahkan, aqidah yang
mencerdaskan, syariah yang membebaskan dan ritual keagamaan yang
memudahkan. Itulah arti mengislamkan
yang sesungguhnya. Bangsa ini berjasa pada umat manusia karena Islam. Dapat
berprestasi tinggi karena mereka menerima worldview Islam. Benarlah George F
Kneller ketika mengatakan bahwa:
“ketika
keluar dari jazirah Arab bala tentara Islam tidak membawa apa-apa kecuali
al-Qur’an dan Hadith, tapi karena
inner dynamic-nya, Islam menjadi worldview yang kelak memberi manfaat kepada
umat manusia”. (George F Kneller, Science
as a Human Endeavor, New York: Columbia University Press, 1978, hal. 3-4).
Jadi, Islamisasi adalah membebaskan dan sekaligus
menyelamatkan manusia dari cengkeraman worldview yang tidak sesuai dengan
fitrahnya.
Comments
Post a Comment