Ibadah Qurban: Upaya Menginsankan Manusia
Maha besar
Allah yang telah melimpahkan nikmat
hidup kepada kita, sehingga di kesempatan
pagi yang segar dan indah ini, kita dapat mempertautkan kembali hati
kita sesama muslim saat beribadah shalat Idul Adha bersama-sama. Allah yang
maha Agung, tiada pernah meninggalkan seditik pun mengasihi makhluk-Nya di
jagat raya ini. Kegagahan dan keperkasaan-Nya yang tiada banding melunturkan
pribadi-pribadi yang hendak menyaingi-Nya. Sungguh sangat kecil dan lemahlah
kita jika mengingat dan merenungi hakikat kemanusiaan yang kita sandang.
Teriring shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada junjungan kita, nabi akhir zaman, penyempurna ajaran para rasul, nabi Muhammad saw, yang telah sukses menghantarkan kita ke pintu gerbang kemerdekaan yang hakiki, lahir dan batin. Kegigihan dan kejujuran sikapnya, kesederhanaan dan kebersahajaan pola hidupnya, serta kemuliaan dan keagungan akhlaknya, mampu menebas kejahilan dan kemerosotan moral yang merendahkan martabat umat manusia. Kita tidak bisa melupakan peran besarnya yang telah sukses dengan gemilang mengubah wajah dunia.
Dalam rangka
menunaikan ibadah shalat Idul Adha, marilah kita merenung tiga peristiwa
penting yang terjadi secara bersamaan pada hari ini. Peristiwa pertama adalah
serempaknya umat Islam melaksanakan shalat Idul Adha secara berjamaah di
berbagai masjid dan lapangan. Semangat untuk melaksakan ibadah ini telah
mengakar di masyarakat karena ritual tahunan yang satu ini menyiratkan
kebersamaan dan keharmonisan hubungan antar individu yang mengaku beriman kepada Allah. Apa pun bangsa dan
warna kulitnya tidak menghalangi
keinginan untuk memadu kasih dengan sang pencipta di pagi 10 Dzulhijjah. Jagat
raya terasa begitu bergema dan membahana seiring takbir, tahmid, dan tahlil
yang berkumandang bersahut-sahutan di pelbagai pelosok negeri. Momentum yang
penuh makna ini juga digunakan untuk merenung ulang semangat yang telah
ditunjukkan oleh Ibrahim as.
Ibrahim, Khalîlullah,
sang kekasih Allah, mendapat predikat tinggi di sisi-Nya, bukan merupakan
prestasi yang tiba-tiba. Ia telah lulus dari cobaan yang menghampirinya. Antara
lain, di saat mengarungi hidup rumah tangganya, Ibrahim sangat merindukan
kehadiran Si Anak sang buah hati, hingga di pernikahannya yang kedua dengan
siti Hajar.
Ujian yang berikutnya
adalah Ibrahim diperintahkan untuk mengungsikan istrinya, siti Hajar dan putra
semata wayangnya, Ismail, ke tanah yang tandus dan kering, kota Makkah. Saat itu belum banyak orang yang
tinggal di sana .
Panas yang terik dan jarangnya pepohonan menjadikan kota
Makkah sebagai kota
yang sangat gersang dan lengang. Hajar
sempat bertanya apa gerangan yang membuat Ibrahim tega meninggalkannya bersama
putra kecilnya yang masih butuh kasih sayang ayahnya. Ibrahim menjawab bahwa
hal itu dilakukan dalam rangka melaksanakan perintah Allah swt.
Siti Hajar
dengan tabah merawat Ismail dalam hari-hari yang sepi dan mencekam. Hingga
suatu saat, perbekalan telah habis dan Ismail pun menangis. Tidak ada lagi
persediaan yang dapat mereka konsumsi. Di tengah kehausan yang menjadi,
terbersitlah di hati Hajar untuk berusaha mencari air yang barangkali dapat ia
temukan di suatu tempat di dekatnya. Saat
melihat Bukit Shafa, seakan tampak di mata Hajar genangan air di atas gurun pasir. Ia
pun lari ke sana .
Namun yang ia temui hanya hamparan tanah bebatuan yang panas dan tandus. Saat Siti Hajar berbalik, ia melihat
fatamorgana di bukit Marwah yang menyerupai air. Setelah bolak-balik sebanyak
tujuh kali, yang kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an yang dinamakan Sa’i.
Ujian yang
ketiga adalah Ibrahim harus menyembelih
Ismail sebagaimana yang ia lihat dalam tiga kali mimpinya. Dan ia harus
menyembelih Ismail dengan tangannya sendiri. Inilah ujian yang sangat berat bagi
Ibrahim. Sebagai seorang ayah, tentu tidak mudah baginya melaksanakan perintah
itu. Anak yang selama ini ia damb-dambakan kehadirannya, kemudian
ditinggalkannya di kota
Makkah, harus ia bunuh dengan sembelihan tangan sendiri. Kalaulah bukan karena
cintanya yang tulus kepada Allah, niscaya Ibrahim tidak akan kuasa
melakukannya. Setelah Ibrahim dan Ismail berpasrah diri kepada Allah, perintah
itu pun dilaksanakan dengan ikhlas. Dan dengan kekuasaan-Nya, Ismail diganti
oleh Allah dengan seekor kambing yang gemuk dan sehat.
Dalam cerita
yang masyhur, kambing yang akhirnya disembelih Ibrahim adalah binatang yang
pernah dipersembahkan oleh Habil, saudara Qabil. Peristiwa ini bermula saat
kedua anak lelaki Adam beranjak dewasa dan memperebutkan Iqlima, putri Adam
yang cantik jelita, kembaran Qabil.
Dalam kesepakatan yang dibuat waktu itu, barang siapa yang
persembahannya diterima oleh Allah, maka ia berhak menikahi Iqlima. Habil pun
memilih domba terbaik yang diternakannya sedangkan Qabil memberikan hasil pertaniannya
yang kurang berkualitas. Alhasil, persembahan Habil pun diterima yang ditandai
dengan lenyapnya domba Habil bersama kilat yang menyambarnya.
Peristiwa
kedua
yang terjadi pada hari ini adalah ibadah haji di tanah suci Makkah
al-Mukarramah yang dilaksanakan oleh kaum muslimin. Kegiatan ini dapat
dikatakan sebagai mu’tamar dunia umat Islam yang dihadiri oleh berbagai suku
bangsa dengan aneka bahasa dan rasnya, yang menyuarakan nada yang sama: takbîr,
tahmîd dan tahlîl.
Suaranya membahana, seirama yaitu menyahut panggilan Allah swt.
Haji adalah
ibadah besar yang sangat membutuhkan kekuatan jasmani selain kekuatan iman yang
melandasinya. Semua kegiatan yang dilaksanakan di sana dapat bernilai sebagai ibadah selama
dilakukan dengan penuh tulus ikhlas. Penyucian diri, lahir dan batin, terutama
saat wukuf di padang
Arafah tanggal 9 Dzulhijjah kemarin, menjadi salah satu pengalaman yang tak
terlupakan bagi setiap jamaah haji. Di sana ,
mereka dapat mengakui segala dosa yang pernah mereka perbuat. Tangisan taubat
terjadi di mana-mana karena rasa haru, berbaur kagum dan gembira. Juga, dalam
suasana seperti itu, hati tercekam oleh keagungan dan kebesaran Allah, sehingga
terasa benar tuntunan rasûl Allah yang menyampaikan wahyu Allah kepada umat Islam. Islam menentukan arah yang jelas
kepada umat Islam agar mencapai tujuan hakiki.
Kehidupan
dunia hendaknya dijadikan jembatan dalam usaha mencapai tujuan tersebut.
Kenikmatan duniawi tetap perlu diusahakan agar dapat hidup layak selaku
manusia, hidup tenang, mempunyai kedudukan mantap, sehingga dapat ibadah dengan
khusuk kepada Allah swt. Segala kenikmatan yang diperolehnya, dimanfaatkan
untuk berbuat kebajikan kepada sesama manusia. Hidup seimbang, menunjukkan
sikap taat kepada Allah swt. Usahanya selalu jadi amal, langkahnya selalu jadi
ibadah, tak terlintas dalam benaknya untuk merampas dan iri kepada nasib orang
lain.
Peristiwa
yang ketiga adalah ketika di persembahkannya binatang kurban yang jumlahnya
berjuta-juta, bahkan berpuluh-puluh
juta. Jika kita cermati lebih mendalam, niscaya kita temukan hikmah besar di
balik upacara penyembelihan itu. Kurban yang berarti mendekatkan diri kepada sang Pencipta,
mengajak kita untuk menjadi umat manusia yang memiliki keagungan budi
pekerti dan keluhuran akhlak
sehingga membedakan diri kita dengan segala ciptaan yang bertebaran di jagat
raya ini. Manusia yang secara khas dititahkan Allah sebagai khalîfah fîa l
ardh, mengungguli makhluk canggih manapun,
sehingga kelestarian dunia dan sustanebilitasnya menjadi salah satu
tanggung jawabnya. Di sinilah uniknya
ibadah kurban. Manusia yang merupakan hewan berakal (hayawân nâthiq)
tidak bisa meninggalkan kodratnya yang sedikit banyak tercampuri watak hewan,
yakni ingin suka berkuasa, merusak, dan mengandalkan kekuatan.
Hewan
terkenal suka merusak. Ia akan menghancurkan apa saja jika keinginannya tidak
tercapai. Ia bisa merobohkan rumah penduduk, merusak tanaman penduduk, bahkan
bisa membunuh manusia demi terpenuhi kebutuhannya. Hewan juga suka mengandalkan
otot daripada otak. Yang kuat adalah yang menang, sehingga hewan-hewan kecil
yang tak berdaya harus tunduk patuh pada sang raja rimba jika masih ingin
bertahan hidup. Begitulah, dengan menyembelih hewan, kita diharapkan dapat
menyembelih sifat kehewanan kita yang tidak jarang menyebabkan kehancuran umat
manusia secara umum. Darahnya binatang telah dialirkan untuk menunjukkan
penghapusan kebengisan, kekejaman, dan kebinatangan yang sering melekat pada watak
manusia. Sesungguhnya Allah telah berfirman, telah nyata bahwa kehancuran di
muka bumi ini banyak diakibatkan oleh tangan-tangan jahil manusia. \
Peristiwa
qurban umat Islam di hari Idul Adha merupakan perwujudan taat kepada Allah swt,
dan satu kegiatan sosial yang me- sosial yang
melambangkan kasih sayang kepada sesama umat, bahkan rahmah li al-‘âlamîn.
Penyembelihan ternak qurban ini mempunyai dampak positif terhadap penyelesaian
problema kemasyarakatan, di samping peningkatan jiwa semangat pengurbanan.
Sebagaiman tercermin dalam tindakan nabi Ibrahim as sudah menunjukkan contoh
bahwa beliau tidak ragu-ragu berqurban menyembelih putranya sendiri yang
bernama Ismail.
Dari uraian di atas, dapat dipetik beberapa kesimpulan bahwa dengan semangat melaksanakan ibadah di hari raya Idul Adha ini, khususnya ibadah kurban, kita hendaknya dapat berintrospeksi diri, apakah kita sudah mampu menjadi insan utama yang memiliki sifat terpuji dengan menjalin hubungan yang baik dengan Allah, sesama manusia, dan sesama makhluk ciptaannya. Kita tentu akan lebih mulia jika kita dapat menekan sifat merusak dan menang sendiri seperti yang biasa dimiliki binatang. Dengan merenungi ibadah kurban di hari raya Idul Adha ini, kita berharap semoga kita dapat memanusiakan diri kita, menjadi manusia yang sempurna. Semoga khutbah singkat ini dapat bermanfaat bagi khatib khususnya dan bagi jamaah sekalian pada umumnya. Amin.
By. Sudirman Hasan, MA (dosen tetap
Fak. Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang)
Comments
Post a Comment