Karena Dakwah Bukan Hanya Tugas Kyai
KARENA DAKWAH BUKAN HANYA TUGAS PARA KYAI
Dalam Al-Qur’an surat Yasiin ayat 20 Allah
berfirman yang artinya “ Dan datanglah
dari ujung kota seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata ; Wahai kaumku!
Ikutilah utusan-utusan itu”.
Habib Ibn Surri An-Najjar. Ialah nama yang ditafsirkan para
mufassir seperti Jalaluddin Suyuti dan Jalaluddin Al Mahali dalam kitabnya
Tafsir Jalalain sebagai ”seorang laki-laki”. Habib Ibn Surri An-Najjar
merupakan seorang penduduk kota Intakiah yang beriman kepada ketiga utusan Nabi
Isa a.s, seorang tukang kayu dari ujung kota ini, yang Allah menjadikan sosok
yang sesungguhnya tak disebut namanya di dalam ayat tersebut sebagai teladan.
Habib
mengajak kaumnya agar mereka beriman kepada ketiga utusan Nabi Isa a.s yang
mana mereka tidak meminta upah sedikitpun atas dakwahnya. Namun kaumnya tetap
membangkang bahkan mereka malah membunuh Habib An-Najjar.
Dia bukan
Rasul, bukan Nabi, bukan pula Ulama, tetapi dia menjadi elemen dakwah rasul,
terhadap murid-murid nabi Isa a.s, namanya mungkin asing di bumi, namun
dirindukan oleh para penghuni langit. Dia juga bukan “pemain inti”, namun Allah
memuliakannya, sehingga perkataannya direkam dalam ayat Al-Qur’an. ”Wahai
kamku, ikutilah utusan-utusan Allah itu.”
Banyak yang
beranggapan bahwa dakwah hanyalah tugas para ustadz, kyai , ulama atau orang-
orang yang paham agama serta medan dakwah yang dikonotasikan dengan majelis
taklim, mimbar maupun ruang-ruang formal semisal. Hingga pada akhirnya,
berdakwah hanya didentikkan dengan berceramah, dan ini menjadikan pandangan
seorang muslim yang bukan ustadz atau
kyai merasa tidak ada beban tanggung jawab untuk berdakwah.
Sebagai
seorang muslim, kita seharusnya mempunyai komitmen pada diri untuk berusaha
berdakwah sekalipun dengan batas minimal ilmu yang kita kuasai. Berusaha untuk
mengajak orang-orang dalam hal kebaikan, dan memberi manfaat kepada mereka sehingga
ajaran islam yang universal ini, dapat dirasakan oleh semua ummat manusia.
Terciptanya sinergi,
itulah yang penting dalam dakwah. Allah tidak melihat posisi, dan apapun
kedudukan kita. Sebagai mu’allim
ataupun penceramah maupun sebagai
muharrik yang menyunting, mengkonsep acara atau sekadar menyebarkan pamflet
- pamflet kajian. Namun, yang Allah lihat adalah jernihnya niat kita serta
besar ikhtiar ketulusan hati kita hanya untuk mendapat ridho-Nya.
Meminjam perkataan Abdur Arsyad ”meskipun kita bukan bagian dari “kereta” dakwah, tapi setidaknya
janganlah kita mau menjadi “kerikil” pengganggu diatas rel.
Penulis: Muhammad Ruslan Hidayatullah
Editor: Muhammad Rizki Rajawali
Penulis: Muhammad Ruslan Hidayatullah
Editor: Muhammad Rizki Rajawali
Comments
Post a Comment